Rabu, 21 Agustus 2019

Jarak

Sejak Juli lalu, sore itu aku mulai menyadari bahwa aku membenci sesuatu. Aku membenci jarak. Ia membentangkan ratusan kilometer diantara kita. Jarak bagaikan sebuah jeda, diciptakan agar sebuah kalimat mudah terbaca.

Tetapi untukku, jarak menjadi penghambat untuk rinduku yang menyesak tidak mudah kutemui seperti dulu. Senyummu yang kusukai kini hanya bisa terlukis lewat sebuah layar, dan kecupmu yang menenangkanku hanya bisa kunikmati lewat sebuah tulisan titik dua dan bintang.

Sejak saat itu, khawatirku semakin menjadi-jadi. Segala cemasku semakin tak terkendali. Aku selalu mencoba untuk mempercayai, tetapi memang tak semudah itu untuk kuyakini. Aku yang terlalu sering kau temani, atau aku yang terlalu mencintai. Entahlah, jarak tak memberi toleransi.

Biasanya kita saling berbagi semua cerita, menceritakan hari yang lebih banyak suka atau duka yang tiada habisnya. Tapi kini tidak lagi. Rindu memaksaku menelannya seorang diri dan menyuruhku untuk sabar menanti.

Sudah banyak tinta yang aku habiskan untuk menuliskan rindu, sudah banyak lembar yang aku keluhkan untuk sekadar mengadu, tetapi tetap saja keduanya tak juga memberi kita temu.

Kau tahu mengapa aku membenci jarak? Aku takut jika kau terbiasa tanpa adanya aku. Aku khawatir jika kau merasa seorang diri kemudian menganggap bahwa tidak ada aku yang sedang menunggu. Atau di luar sana kau temukan peluk yang lebih hangat dari aku.

Sudahlah, aku tak memaksamu untuk lekas kembali.
Selama hatimu masih untukku, selama aku satu-satunya yang kau cintai, jarak hanyalah sebuah jarak. Bukan pemisah hati kita. Aku masih di sini. menunggumu, menanti temu untuk kembali berbagi segala cerita.