Sejak perkenalan Desember 2016 lalu, aku sudah yakin bahwa aku akan jatuh hati kepadamu. Dengan sepasang
bola mata yang membuatku ingin lebih lama menatap. Segala isi pemikiran yang
begitu mengagumkan yang membuatku ingin menetap. Setiap kali aku melihat jari-jarimu
rasanya sangat pas jika dipasangkan dengan jari-jariku. Kesederhanaan yang
ingin aku lengkapi meski ku tahu kau bisa lebih dari itu.
Aku ingin melengkapimu.
mengisi kekosongan pada setiap jeda dan spasimu, menjadi tempatmu menyembuhkan
segala luka, dan memberimu tempat ternyaman untuk segala keluh kesah. Tetapi
semestinya aku sadar, kamu adalah laki-laki, yang pipinya tak pernah basah atas
cucuran air mata untuk kukeringkan.
Terbuat dari apa
sepasang bola matamu? Mengapa menatapmu rasanya begitu menenangkan? Apakah di
sana terdapat telaga, atau sebuah senja yang memanjakan mata?
Berulang kali aku ingin
menyampaikan perasaan yang selama ini tak mampu ku utarakan. Berulang
kali aku ingin menyuarakan rindu-rindu yang tak mungkin ku sampaikan.
“kau rindu siapa?! Ha?!
Sudahlah. Kalian, hanya teman! BUKAN PASANGAN” begitulah logikaku meneriaki perasaanku. Beberapa
pendapat orang lain mengatakan “jika memang benar cinta, katakan saja. Toh,
perempuan maupun laki-laki sama saja, memiliki perasaan”. Tidak, bagiku. Seorang
perempuan tidak seharusnya mengungkapkan rasa cinta kepada lawan jenisnya.
Perihal hati, seorang perempuan hanya bisa menanti meski sangat ingin memiliki.
Kita, biarlah begini
saja. Menjadi teman asal tetap bersama. Karena aku tak pernah berani untuk benar-benar
berjalan menghampirimu. Aku terlalu takut jika harus mengorbankan pertemanan
kita hanya demi keegoisanku. untuk apa jika segala usahaku menggapaimu bukan
membuatmu semakin dekat tetapi malah membuatmu menjauh. Aku di dekatmu merasa
aman, kita sudah saling merasa nyaman, tetapi kita hanya teman dalam sebuah hubungan.