Minggu, 23 Januari 2022

Selesai

Akhirnya.

Pertengkaran-pertengkaran kita sudah menemui ujungnya. Yang kupercayai kamu hanya memiliki satu nama yaitu aku, ternyata dia ratunya. Aku bersikeras menyangkal keraguan-keraguan itu yang ternyata memang seperti itu kenyataannya.

Janji-janji itu sudah tak memiliki makna.
setiap kali aku menatap sepasang matamu, aku menatap ketidakmungkinan.
Dan begitupun setiap kali aku menikmati tawamu aku takkan bisa membawa ke masa depan.
Mengapa? Karena kamu tak pernah menjadikanku satu-satunya.

Ikrar untuk membersamaiku beberapa bulan lagi hanyalah mengulur waktu sampai puan-Mu memanggilmu kembali.

Untuk apa bersikeras mendapatkanku kalau hatimu masih enggan melepasnya
sedari awal memang aku tak pernah memperjuangkannya, mungkin itulah mengapa bukan aku yang memenangkannya.

Bersamanya atau berjalan sendiri.
Berjalan denganku sangat tidak mungkin terjadi.
Sebab aku ingin bebas mencintai dan dicintai tanpa khawatir ada yang merasa tersakiti.
Jadi, mari akhiri sampai di sini.
Terima kasih untuk kisah yang singkat, untuk kedepannya aku akan lebih cermat.

Rabu, 21 Agustus 2019

Jarak

Sejak Juli lalu, sore itu aku mulai menyadari bahwa aku membenci sesuatu. Aku membenci jarak. Ia membentangkan ratusan kilometer diantara kita. Jarak bagaikan sebuah jeda, diciptakan agar sebuah kalimat mudah terbaca.

Tetapi untukku, jarak menjadi penghambat untuk rinduku yang menyesak tidak mudah kutemui seperti dulu. Senyummu yang kusukai kini hanya bisa terlukis lewat sebuah layar, dan kecupmu yang menenangkanku hanya bisa kunikmati lewat sebuah tulisan titik dua dan bintang.

Sejak saat itu, khawatirku semakin menjadi-jadi. Segala cemasku semakin tak terkendali. Aku selalu mencoba untuk mempercayai, tetapi memang tak semudah itu untuk kuyakini. Aku yang terlalu sering kau temani, atau aku yang terlalu mencintai. Entahlah, jarak tak memberi toleransi.

Biasanya kita saling berbagi semua cerita, menceritakan hari yang lebih banyak suka atau duka yang tiada habisnya. Tapi kini tidak lagi. Rindu memaksaku menelannya seorang diri dan menyuruhku untuk sabar menanti.

Sudah banyak tinta yang aku habiskan untuk menuliskan rindu, sudah banyak lembar yang aku keluhkan untuk sekadar mengadu, tetapi tetap saja keduanya tak juga memberi kita temu.

Kau tahu mengapa aku membenci jarak? Aku takut jika kau terbiasa tanpa adanya aku. Aku khawatir jika kau merasa seorang diri kemudian menganggap bahwa tidak ada aku yang sedang menunggu. Atau di luar sana kau temukan peluk yang lebih hangat dari aku.

Sudahlah, aku tak memaksamu untuk lekas kembali.
Selama hatimu masih untukku, selama aku satu-satunya yang kau cintai, jarak hanyalah sebuah jarak. Bukan pemisah hati kita. Aku masih di sini. menunggumu, menanti temu untuk kembali berbagi segala cerita.

Rabu, 03 April 2019

aku kalah telak


Pernahkah kau berpikir bagaimana perasaan orang yang telah kau khianati?
Pernahkah kau berpikir bagaimana rasanya menjaga hati yang terus-terusan kau sakiti?
Pernahkah sekali saja kau mengerti bahwa aku yang sebaik-baiknya mencintai?
Mengertilah, aku ini manusia yang suatu saat bisa saja tak menerimamu kembali. Tetapi sepertinya kau memang tak pernah berpikir seperti itu, karena kau tahu seberapa keras kau menyakitiku, aku tak pernah menutup pintu rumah untukmu.

Hari itu, hati yang sekian lama kugenggam, tangannya dengan tidak merasa bersalah menggenggam hati perempuan lain. Bahu yang dulu aku agung-agungkan  kini menjadi tempat ternyaman bagi perempuan lain. Peluk yang dulu begitu menghangatkan, kini menjadi tempat yang paling dingin.
Kau mengkhianati cinta yang kita bangun selama ini. Tetapi dengan bodohnya, aku tak pernah bisa berkata tak ingin memilikimu lagi.

Sebuah pembelaan dengan mengatasnamakan “Teman” ketika kalian ketahuan jalan berdua, video call setiap malam atau sekadar menikmati secangkir kopi di cafe yang menenangkan. Halah persetan! Teman macam apa seperti itu?! Coba berpikir, dulu kita ini siapa? Kita pun dulu hanyalah teman dan sekarang kita bisa sampai pada langkah seperti ini.

Hari ini, dia yang kau bilang hanya teman resmi menjadi kekasihmu yang pada saat ini juga aku masih menjadi perempuanmu. Seegoiskah kau itu? Mengapa mencintaimu harus sesakit ini? aku hanya ingin menjadi satu-satunya, bukan salah satunya.
Jika memang sudah tak bisa mencintai, mengapa harus melukai?
Kau seharusnya bicara sejak awal jika hubungan kita sudah tidak bisa diselamatkan, jadi aku tak perlu berusaha keras untuk menyelamatkannya. Selama ini aku percaya, tetapi kepercayaanku kau perdaya.

Untuk perempuanmu itu, selamat. Dia telah memenangkanmu, meski aku yang selalu berusaha  menenangkanmu, menjadi yang terbaik untukmu, tetap saja aku kalah telak.
Rebahkanlah kekagumanmu di dadanya, jika suatu saat kau menyadari bahwa aku yang sebaik-baiknya mencintai, jangan kembali. Maaf, tidak ada toleransi. Ini terakhir kalinya hatiku kau lukai.


Rabu, 13 Maret 2019

kita hanya teman


Sejak perkenalan Desember 2016 lalu, aku sudah yakin bahwa aku akan jatuh hati kepadamu. Dengan sepasang bola mata yang membuatku ingin lebih lama menatap. Segala isi pemikiran yang begitu mengagumkan yang membuatku ingin menetap. Setiap kali aku melihat jari-jarimu rasanya sangat pas jika dipasangkan dengan jari-jariku. Kesederhanaan yang ingin aku lengkapi meski ku tahu  kau bisa lebih dari itu.

Aku ingin melengkapimu. mengisi kekosongan pada setiap jeda dan spasimu, menjadi tempatmu menyembuhkan segala luka, dan memberimu tempat ternyaman untuk segala keluh kesah. Tetapi semestinya aku sadar, kamu adalah laki-laki, yang pipinya tak pernah basah atas cucuran air mata untuk kukeringkan.

Terbuat dari apa sepasang bola matamu? Mengapa menatapmu rasanya begitu menenangkan? Apakah di sana terdapat telaga, atau sebuah senja yang memanjakan mata?
Berulang kali aku ingin menyampaikan perasaan yang selama ini tak mampu ku utarakan. Berulang kali aku ingin menyuarakan rindu-rindu yang tak mungkin ku sampaikan.

“kau rindu siapa?! Ha?! Sudahlah. Kalian, hanya teman! BUKAN PASANGAN” begitulah logikaku meneriaki perasaanku. Beberapa pendapat orang lain mengatakan “jika memang benar cinta, katakan saja. Toh, perempuan maupun laki-laki sama saja, memiliki perasaan”. Tidak, bagiku. Seorang perempuan tidak seharusnya mengungkapkan rasa cinta kepada lawan jenisnya. Perihal hati, seorang perempuan hanya bisa menanti meski sangat ingin memiliki.

Kita, biarlah begini saja. Menjadi teman asal tetap bersama. Karena aku tak pernah berani untuk benar-benar berjalan menghampirimu. Aku terlalu takut jika harus mengorbankan pertemanan kita hanya demi keegoisanku. untuk apa jika segala usahaku menggapaimu bukan membuatmu semakin dekat tetapi malah membuatmu menjauh. Aku di dekatmu merasa aman, kita sudah saling merasa nyaman, tetapi kita hanya teman dalam sebuah hubungan.

Selasa, 19 Februari 2019

Tak Perlu


Tak perlu memberiku perhatian lagi. Kau berusaha menghiburku dengan maksud yang tidak jelas arahnya, dengan tujuan yang entah ke mana pulangnya. Tak perlu mencari bahan obrolan untuk membuat perbincangan kita tetap berlanjut. Kini basa-basimu menjadi sesuatu yang paling basi. Tak perlu menjadi sesuatu yang setiap waktu ingin kucari.

Tak perlu selalu ada di setiap hari-hariku, sebab aku tak pernah tahu apa yang sedang kau ingini pada diriku. Tak perlu bersikap manis seolah-olah aku satu-satunya perempuan yang ingin dibuatmu bahagia, aku paham benar di hatimu masih ada dia.

Tak perlu menanyakan keberadaanku pada siapa pun. Sudah dipastikan aku tidak benar-benar berada di sana; di hatimu. Tak perlu menghubungiku lagi. Kau semestinya mengerti, aku hanyalah seorang perempuan yang mudah digoyahkan dalam urusan hati. Kau ini sudah milik dia. Lalu bagaimana setelahnya? Akankah kau tinggalkan aku begitu saja? Pergilah! Aku mengakhiri cerita kita hari ini. Kau salah orang jika ingin bermain-main dengan hati.

Tak perlu memberitahuku kedai kopi terenak yang baru saja kau datangi. Kau begitu mengerti; dalam urusan kopi, aku selalu tak punya alasan untuk menolak dan berulang kali hatiku luluh kemudian kembali. Kau hebat, memiliki senjata tajam yang begitu kuat. Ataukah aku saja yang lemah? Karena di hadapanmu aku selalu kalah. Biarkan saja aku menepi. Berteman dengan sepi. Daripada harus membuat perempuanmu berulang kali tersakiti.

Asal kau tahu aku ada bukan untuk ditemani, tetapi aku ada untuk kaulengkapi.

Kembalilah ke pelukannya. Dia merindukan dadamu, dada yang ia menangkan dengan jerih payahnya, yang menjadi rumah ternyaman ketika ia sedang merana. dada yang menjadikannya utuh ketika sedang rapuh, menjadikan kuat ketika hilangnya sebuah semangat. Tetaplah menjadi seperti itu.

Aku, biarlah menjadi perempuan yang menganggap segala usahamu adalah pencarian, yang pada akhirnya kusadari bahwa kenyataanya hanyalah sebuah pelarian.

Senin, 04 Februari 2019

sayang


Sayang, tetaplah menjadi hangat yang selalu ingin aku dekap. Tetaplah menjadi yang terkonyol yang selalu ingin memamerkan gigi-gigiku. Tetaplah menjadi keras kepala yang selalu ingin mengalahkanku.

Sayang, jadilah selalu rumah yang ke mana pun aku pergi kembaliku adalah kamu. Buatlah perempuan lain merasa iri karena aku yang memiliki kamu. Tetaplah menjadi yang paling cemburu ketika sepasang bola mataku menatap laki-laki lain selain kamu.

Sayang, jika suatu saat nanti terjadi pertengkaran hebat, tolong jangan kau beri kita sekat. Sebab hanya denganmu aku selalu ingin dekat. Kita selesaikan saja di sebuah meja yang tersaji dua gelas kopi pekat.

Sayang, beri tahu aku sesuatu yang membuatmu gundah, jangan kau simpan sendiri segala resah. Jangan kau bagi keluhmu kepada siapa pun selain aku. Agar hanya pelukku yang menenangkanmu. Agar hanya tanganku yang mengusap dahimu untuk membuatmu kembali utuh.

Sayang, jadikan aku satu-satunya yang mendengar cerita-ceritamu. Jadikan aku satu-satunya yang hanya melihat kegundahanmu. Akan aku rawat agar kau selalu terlihat yang paling kuat. Aku bersyukur karena yang ada bersamamu adalah aku. teruslah bersamaku, maafkan segala kesalahanku. Terima kasih sudah selalu ada. Tetaplah menjadi cinta yang selalu ingin aku jaga.


Jumat, 25 Januari 2019

Gerimis yang sengaja kutulis


Dengan irama musik gerimis, aku kembali mengingatmu begitu manis, Mencoba untuk tidak mengeluarkan isak tangis
Malam semakin pekat, hening membatu
Hanya aku dan kenangan dengan perbincangan yang semakin menyeruak, menyesak hingga aku tersedak
Kemana pergi pelukan yang mendamaikan semesta. Yang katamu pandai menidurkan rembulan dengan hangatnya
Kecup yang pandai mendamaikan emosi dihati yang kini tak tertata dengan rapi.

Sayangku, aku kedinginan
Sementara hangatmu tertawa merayakan kepedihanku dengan orang yang kau sebut cinta yang baru
Rasanya aku berada pada benua Atlantik. Membeku, gemetar hingga kini teriakku tak lagi bisa didengar

Kedua dada kita kini tak lagi bisa beradu, hanya irama musik gerimis yang terdengar merdu dan selalu membuat rindu
Aku kembali meneguk secangkir rindu yang kau tanggalkan sebelum kau pergi
Walau rasa pahit tetap saja kuresapi, kunikmati dengan sedikit rasa benci

Dalam sujudku, aku selalu memintamu tanpa rasa malu
“Perihal apa pun yang kau cintai, semoga semesta mencatatku sebagai salah satunya.”
Cinta membawamu pergi, tetapi rindu tak sanggup membawamu kembali

Semoga coretan ini tak begitu saja berlalu, tertiup angin sampai hulu
Hingga membawamu pergi jauh, dan membuat lukaku tak kunjung sembuh
Sebab hanya dengan coretan ini aku mampu menyapamu dengan mesra
Kembali mengingat genggamanmu yang kau lepaskan begitu saja
Berbahagialah, rebahkanlah kerinduanmu didadanya
Semoga cinta yang kau pilih tak pernah salah